BIRU = BOBOTOH INDEPENDENT RAJAPOLAH UNITED

1/26/2011

PERSIB Pindah ke Liga Primer?

PERSIB pindah ke Liga Primer Indonesia (LPI). Itu adalah seruan seluruh bobotoh yang hadir di Stadion Siliwangi dalam pertandingan lanjutan LSI Persib melawan Arema, Minggu (23/1), yang berakhir imbang 1-1. Pertandingan itu menjadi sebuah ajang pelampiasan amarah bobotoh, atas ketidak becusan wasit memimpin pertandingan. Saya sendiri sebetulnya tidak yakin para wasit PSSI ini sebegitu amburadulnya. Saya merasa ada kesengajaan dari tim pemimpin pertandingan ini untuk menjadi juru adil yang tidak adil. Motivasinya apa? Bisa bermacam-macam motivasinya, dari uang sampai rasa tidak suka, sampai atas perintah! Tapi saya yakin betul motivasinya bukan ingin kelihatan bodoh dan tidak kompeten, karena para wasit ini pasti orang-orang kompeten dan tidak bodoh di bidangnya!

Kompetensi menjadi pertanyaan besar di setiap aspek sepakbola di Indonesia. Dari pimpinan teratasnya hingga level terbawah, di setiap level terdapat keraguan akan kompetensi. Yang hebatnya justru ini bukan tidak disadari oleh para pembuat keputusan sepakbola di Indonesia. Namun alih-alih membelanjakan uang miliaran rupiah untuk membenahi dan meningkatkan kompetensi wasit, misalnya, para petinggi ini malah membelanjakan uang miliaran rupiah untuk melobi pendukung suara di Kongres PSSI. Padahal tanpa perlu belanja miliaran rupiah untuk membeli suara pemilihan, semua orang akan dengan senang hati menerima kembali para penguasa sepakbola Indonesia asal kompetensi aspek sepakbola memenuhi standar tinggi.

Maka, pindah ke LPI, sudah bukan lagi wacana di internal PERSIB. Tinggal menunggu ketok palu, pindah atau tinggal! Pertimbangan-pertimbangan sedang dikumpulkan, demikian juga untung rugi jika bergabung dengan LPI dan meninggalkan LSI. Yang pasti dengan pindah ke LPI, PERSIB tidak mungkin mengikuti ajang Piala Indonesia. Hal ini karena Piala Indonesia adalah perhelatan dari PSSI. Sementara itu hampir semua sponsor PERSIB terkait dengan penyelenggaraan Piala Indonesia. Artinya mereka mengikat kotrak sponsorship dengan PERSIB untuk di dua ajang: Liga Super dan Piala Indonesia. Artinya kalau mau pindah ke LPI, maka harus ada pembicaraan serius dengan para sponsor.

Sementara itu bicara soal aspek pertandingannya, LPI juga bukan tidak punya kelemahan. Standar kualitas lapangan pertandingan, seperti pertandingan Batavia FC vs Solo FC di Sumantri Brojonegoro Jaksel, tidak memenuhi standar nasional sekalipun. Masalah kualitas lapangan yang menyedihkan ini, terjadi juga di laga-laga lain. Lalu mengenai kualitas wasit? Apakah wasit di LPI pasti lebih baik? Mari kita bercermin dari kasus pemukulan wasit oleh Simon Q dari Semarang United dan protes Batavia Union atas kepemimpinan wasit ketika kalah 1-2 atas Solo FC. Belum lagi kasus pengeroyokan terhadap warga Lamongan hingga tewas oleh ulah suporter.

Memang ada janji hibah "Marque Player" untuk dipakai oleh klub, atau boleh memilih pelatih kualitas wahid kelas dunia. Tentu saja ini menjanjikan sebuah masa depan klub yang berkualitas. Namun mampukan klub menyediakan juga fasilitas kelas wahid bagi para super star kelas Dunia ini? Juga tentu saja diperlukan usaha untuk “menjual” mereka ke para sponsor. Karena punya bintang di dalam klub itu biayanya besar, kalau sampai tidak ada pemasukan untuk menutup kebutuhan fasilitas VIP mereka, bisa-bisa klub rugi terus dan tidak pernah mandiri. Bukankah kemandirian klub adalah salah satu tujuan LPI?

Lalu, apakah artinya pindah ke LPI tidak menguntungkan, dan tinggal di LSI akan menjamin masa depan Persib? Coba kita lihat kondisi LSI sekarang. Kualitas wasit dan isu serta kecurigaan adanya pengaturan pertandingan sudah bertiup kencang. Walaupun PSSI sudah membentuk komisi khusus untuk menyelidiki hal ini, namun hasilnya masih tanda tanya besar. Kita memang tidak bisa menuduh PSSI melindungi atau terlibat dengan mereka yang melakukan kejahatan hina ini. Tapi paling tidak PSSI gagal menuntaskan masalah ini di semua level kompetisi liga.

Secara keuangan, PSSI sudah jelas-jelas membuat program paling cepat tanpa APBD bagi klub tahun 2014. Kenapa? Alasannya sumir sekali. Kesiapan klub dan daerah jadi alasan utama. Bagi saya ini adalah argumen yang membodohkan masyarakat. PERSIB, dengan bangga saya katakan, sudah bisa membuktikan dengan APBD = Rp 0 tetap bisa "survive". Tidak mudah memang, tapi bisa. Pernyataan bahwa daerah tidak siap itu sama saja menganggap rendah kemampuan para putra terbaik daerah. Wajar kalau kemudian alasan menunggu sampai 2014 dihubungkan dengan konstelasi politik di tahun 2014. Lagi pula, bukankah PSSI dan PT Liga Indonesia dihuni oleh para pengusaha dan profesional bisnis top di Indonesia, yang pasti lebih dari mampu untuk membuat sebuah model bisnis yang sehat bagi klub sepakbola profesional di Indonesia. Dengan begitu, klub bukan hanya dijadikan mainan hobi belaka, lalu dimanfaatkan untuk memeras uang para pengurusnya yang ambisi mengejar prestasi dengan instant dan massa pendukungnya jadi "vote" target ketika pemilu.

Yang menarik adalah, kenyataan bahwa kemana pun PERSIB berkompetisi seluruh bobotoh masih menunjukkan cinta yang besar. Artinya, di Liga manapun PERSIB berkompetisi akan memberikan daya tarik kuat bagi Liga tersebut. Jadi tinggal Liga mana yang memberikan penawaran lebih menarik, untuk kepentingan PERSIB dan sepak bola Indonesia. LPI secara informal sudah menyodorkan banyak benefit kepada PERSIB. Kita tinggal tunggu tawaran serius nya. PSSI? Bukannya menawarkan benfits atau perbaikan, malah mengancam akan mengeluarkan PERSIB dari PSSI jika terbukti memasang dengan sengaja, papan LPI di Stadion Siliwangi dalam pertandingan 23 Januari 2011 melawan Arema. Lah, Siapa yang butuh, siapa nih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar